Waetasumsel.id, Musi Rawas – Tindakan Penyidik dan Kanit Pidum Sat Reskrim Polres Musi Rawas melarang wartawan mengambil gambar dan video saat rekonstruksi perkara di Gedung Sat ResKrim Polres Mura dapat dipertanyakan dari perspektif kebebasan pers dan transparansi hukum, Selasa 23/9/2025.
Ketua DPW Ikatan Wartawan Online (IWO) Sumsel Safrullah Lubai, S.Psi mengatakan, Dalam proses hukum, rekonstruksi perkara biasanya dilakukan untuk merekonstruksi kembali kejadian sebenarnya dari sebuah kasus. Namun, pelarangan pengambilan gambar dan video oleh wartawan dapat membatasi hak masyarakat untuk mengetahui perkembangan kasus tersebut, ujarnya
1. Pertimbangan Hukum
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Pasal 4 huruf a Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
2. Pertimbangan Praktis.
Pelarangan pengambilan gambar dan video dapat disebabkan oleh kebutuhan untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan privasi pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
Namun, pelarangan tersebut juga dapat menimbulkan kesan bahwa proses hukum tidak transparan dan tidak akuntabel, ada apa dengan kasus ini sehingga saat melaksanakan gelar rekontruksi terkesan tertutup, ini yang jadi pertanyaan publik, Jelas Ketua DPW IWO Sumatera Selatan Tersebut.
Dalam menilai tindakan, Oknum Polisi perlu dilihat lebih lanjut konteks dan alasan pelarangan tersebut. Jika memang ada alasan yang sah dan masuk akal untuk membatasi pengambilan gambar dan video, maka tindakan tersebut mungkin dapat dibenarkan. Namun, jika tidak ada alasan yang jelas, maka tindakanya tersebut dapat dianggap sebagai pembatasan kebebasan pers yang tidak perlu, paparnya
Karena Kehadiran media dalam proses rekonstruksi bertujuan untuk memberikan informasi kepada publik sebagai bagian dari prinsip harus transparan dan akuntabel, terbuka, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan ke publik, tegasnya.