Membincang “Zero Conflict” Sumatera Selatan

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)

Wartasumsel.id, SUMSEL – Sumatera Selatan menjadi provinsi yang dinyatakan tidak ada konflik khususnya terkait kondusivitas kemajemukan atau pluralitas dalam berbagai identitas; suku, agama, dan ras (SARA). Sumatera Selatan sebagai provinsi “Zero Conflict” tidak sekedar slogan politik. Kebersamaan dalam berbagai perbedaan untuk senantiasa dijaga bahkan sejak lama. Dalam ranah ini penjelasan ini “Zero Conflict” dapat dipahami.

 

Etnis Melayu Palembang, Cina dan Arab, serta Jawa dan berbagai etnis dari berbagai daerah dengan berbagai perbedaan lain yang menjadi identitas mengakar kuat dan menjadi warna khas yang kuat bagi Provinsi Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang yang dikenal sebagai kota tertua di Indonesia.

 

Perkembangan ekonomi, pendidikan dan pembangunan berbagai infrastruktur selain menunjukkan kiprah pemerintah, juga menjadi bukti kontribusi berbagai pihak yang berlatar belakang berbeda tersebut. Pada tataran ide, narasi ideal sepenuhnya dapat saja terpenuhi, semisal peran setiap etnis. Secara lebih konkrit, kenyataan ini jauh lebih kentara. Meski relatif sedikit namun berpengaruh sampai pada perpolitikan. Tidak jarang terjadi persaingan antar identitas. “Zero Conflict” menjadi narasi yang layak diuji.

 

Masyarakat Sumatera Selatan yang hidup dalam beragam akar perbedaan, seiring waktu berkembang dan terus meningkat. Perkembangan sedemikian rupa menciptakan keragaman yang kemudian melahirkan berbagai tantangan dari dalam seperti pertumbuhan jumlah penduduknya maupun melalui kebijakan atau kerja sama dengan pemerintah pusat seperti program transmigrasi, yang semuanya membawa konsekuensi!

 

Narasi “Zero Conflict” Sumatera Selatan akan mahal harga pertaruhannya pada kejadian memilukan di Mesuji, OKI berupa bentrok warga di antaranya terjadi pada 17 Juli 2019. Persoalan lahan yang berakibat pertengkaran dan memakan korban jiwa. Pecahnya bentrok tidak hanya menyisakan persoalan bagi para korban, juga kejadian sebagai bagian perjalanan panjang kehidupan khususnya di Sumatera Selatan.

 

Belum lagi, persoalan ke merataan seperti kesempatan bekerja menjadi tantangan sesungguhnya dalam konteks pengaruh setiap identitas yang membentuk kelompok-kelompok. Faktanya terjadi keterbelahan dalam masyarakat seperti dalam dua kubu besar, pribumi dan pendatang. Berupa ego menjadi potensi berbagai bentuk ke kurang harmonisan. Kebersamaan menjadi hubungan emosi antar perbedaan yang bersaing secara signifikan.

 

Walhasil, ke merataan pembangunan berakibat pada kecemburuan sosial menuntut keadilan. Luapan masyarakat pribumi sebagai ekspresi atas hal tersebut tercermin pada kejadian tanggal 8 Maret 2018 yang menyasar kaptel modern di tengah pemukiman pedalaman di Ogan Ilir. Ramai-ramai media menyorot kejadian tersebut sebagai isu keagamaan bukan lagi tentang ketimpangan sebagai sebab, seperti tampak perbedaan mencolok antara bangunan megah yang terdapat di desa dengan pemukiman masyarakatnya yang masih jauh dari arsitektur khas modernitas.

 

Interaksi antar perbedaan baik Suku, Agama, maupun Ras sebenarnya dicontohkan oleh pemimpin Daerah. Herman Deru selaku Gubernur Sumatera Selatan terlibat aktif dalam peresmian rumah ibadah. Suatu kesempatan hangat bahkan pernah terlibat dalam rangkaian acara usaha pengadaan lahan dengan komunitas masyarakat Batak di Palembang untuk rumah ibadah mereka.

 

Permukaan yang menampilkan suasana berbeda dari akar yang dinyatakan dalam kondisi “zero conflict” atau berada pada angka nol konflik yang dimaksudkan tidak adanya permasalahan, merupakan peta untuk gambaran kondisi kemajemukan di Sumatera Selatan. Menjadi dinamika dalam narasi, gambaran ini dapat saja dimanfaatkan untuk memperbaiki potensi permasalahan. Kemajemukan identitas selain sebagai bentuk kemajuan, disikapi keadilan untuk hidup bersama dalam perbedaan. (*)