LUBUKLINGGAU, wartasumsel.id- Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia mampu menunjukkan bahwa demokrasi dapat diterapkan negara lain yang memiliki penduduk heterogen secara suku, agama dan ras.
Melalui sistem demokrasi akan menghasilkan pergantian pemimpin secara regular melalui pemilihan umum (Pemilu) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DPR Daerah Provinsi dan DPR Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam proses perjalanannya, Penyelenggara pemilihan harus bisa memberikan jaminan legitimasi demokrasi sebagai tolak ukur bagi kualitas pelaksanaan pemilu.
Legitimasi tersebut dapat dicapai apabila Pemilu yang tahapannya sudah dimulai sejak, 14 Juni 2022 lalu, sebagaimana Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat memenuhi beberapa unsur, yakni transparansi, akuntabilitas, kredibilitas dan integritas sehingga masyarakat percaya dan yakin terhadap penyelenggara dan juga akhirnya pada hasil pemilu mendatang.
Selain unsur-unsur tersebut, tentunya tingkat keberhasilan pemilu juga tidak terlepas dari yang namanya partisipasi pemilih atau partisipasi masyarakat yang menjadi salah satu indikator penting penyelenggaraan pemilu.
Pemilih adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak suara dalam suatu pemilihan pemimpin. Jumlah pemilih yang hadir dalam memberikan hak suara pada pemilihan disebut tingkat partisipasi pemilih.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 448 ayat (3) menjelaskan “Bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah: Tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, Tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu, Bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan Mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi pelanggaran pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Tingginya partisipasi pemilih menjadi legitimasi akan proses demokrasi, sebaliknya rendahnya partisipasi pemilih menunjukkan ketidak percayaan masyarakat sehingga menarik diri diri bahkan apatisme masyarakat terhadap politik.
Bentuk partisipasi masyarakat paling minimal mereka mau datang dan menggunakan hak pilihnya hingga ketingkat level yang lebih tinggi, berupa terlibat dalam proses pendidikan pemilih. Tentu saja, membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang lebih, seperti pengetahuan atas isu kepemiluan dan pelanggaran pemilu.
Disinilah peran penyelenggara pemilihan untuk sosialisasi dan memberikan pendidikan pemilih secara terus-menerus agar dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun yang tergabung dalam Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sebagai unsur penting penopang demokratisasi.
Selain sebagai sasaran, Organisasi Masyarakat Sipil dapat menjadi salah satu aktor dalam melakukan pendidikan politik ke masyarakat. Pendidikan politik yang baik akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suaranya.
Penyelenggara pemilihan dituntut bagaimana agar masyarakat bukan hanya mau memilih tetapi juga mau ikut langsung berpartisipasi langsung baik dalam mensosialisasikan Pemilu seperti tahapan dan juga melakukan pengawasan terhadap tahapan Pemilu baik secara pribadi maupun kelembagaan seperti lembaga Pemantau.
Penyelenggara baik KPU dengan relawan demokrasinya, maupun Bawaslu melalui gerakan sejuta relawan pengawas pemilu dengan tujuh program pengawasan partisipatif oleh masyarakat, berupa Pengawasan berbasis teknologi informasi, Forum warga, Gerakan pengawas partisipatif pemilu, Pengabdian masyarakat dalam pengawasan pemilu, Pengelolaan media sosial, Pojok pengawasan, dan Satuan karya pramuka adhyastu Pemilu.
Bukan hanya penyelenggara Pemilu, Partisipasi pemilih juga menjadi bagian tanggung jawab peserta Pemilu dalam hal ini Partai Politik (Parpol) dengan memberikan pendidikan pemilih kepada konstituen Parpol masing-masing dan masyarakat secara umum.
Semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam memilih ini berarti tingkat kedewasaan dan antusiasme masyarakat dalam partisipasi politik tinggi.
Berdasarkan data, partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 tinggi hingga mencapai 81,9 persen, sementara sebelumnya partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sebesar 69,6 persen. (Sumber. Kpu.go.id).
Sementara bagaimana dengan target Pemilu tahun 2024 mendatang? Tentu sekarang belum bisa dipastikan walaupun mungkin KPU RI sudah memiliki bahkan menetapkan kuantitatif partisipasi pemilih.
Sebagaimana saat ini masih dibayang-bayangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materi atau judicial review, Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Undang-Undang Pemilu mengatur sistem pemilu proporsional terbuka dengan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diduga bertengkar dengan ketentuan pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Sehingga Hakim MK diminta untuk mengubah sistem tersebut dengan sistem proporsional tertutup dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.
*Oleh Aspin Dodi, S.Pd
Anggota Bidang Organisasi PWI Kota Lubuklinggau, Jurnalis Daerah Harian Radar Palembang. (*)